Sabtu, 17 Agustus 2013

PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT DAN 4 PILAR PENDIDIKAN UNESCO


Pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang didalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 25). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari seluruh kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka telah melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain adalah untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas, terampil, mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat melangsungkan kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama. Di sinilah peran lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk membantu masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang telah disampaikan di atas, melalui pendidikan sepanjang hayat manusia diharapkan mampu menjadi manusia yang terdidik
1.      Pengertian Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan  sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukann oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Melalui pendidikan sepanjang hayat, manusia selalu belajar melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman yang telah dialami. Konsep pendidikan sepanjang hayat tidak mengenal batas usia, semua manusia baik yang masih kecil hingga lanjut usia tetap bisa menjadi peserta didik, karena cara belajar sepanjang hayat dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.
Menurut pendapat Sudjana (2001: 217-218) pendidikan sepanjang hayat harus didasarkan atas prinsip-prinsip pendidikan di bawah ini :
a.       Pendidikan hanya akan berakhir apabila manusia telah meninggal dunia.
b.  Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisi dan sistimatis.     
c.   Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui, dan meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
d.  Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang melakukan kegiatan belajar.
e.    Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.      Tahap Proses Belajar Pendidikan Sepanjang Hayat
Tahapan belajar manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama ialah proses belajar yang tidak dapat dilihat oleh panca indera, karena proses belajar terjadi dalam pikiran seseorang yang sedang melakukan kegiatan belajar. Proses ini sering disebut dengan proses intern. Bagian yang kedua disebut proses belajar ekstern, proses ini dapat menunjukkan apakah dalam diri seseorang telah terjadi proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Suprijanto (2007) proses belajar yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar berlangsung melalui enam tahapan yaitu :
a.            Motivasi
Yang dimaksud motivasi di sini adalah keinginan untuk mencapai suatu hal. Apabila dalam diri peserta didik tidak ada minat untuk belajar, tentu saja proses belajar tidak akan berjalan dengan baik. Jika demikian halnya, pendidik harus menumbuhkan minat belajar tersebut dengan berbagai cara, antara lain dengan menjelaskan pentingnya pelajaran dan mengapa materi itu perlu dipelajari.
  1.    Perhatian pada Pelajaran
Peserta didik harus dapat memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Apabila hal itu tidak terjadi maka proses belajar akan mengalami hambatan. Perhatian peserta ini sangat tergantung pada pembimbing.
  1.   Menerima dan Mengingat
Setelah memperhatikan pelajaran, seorang peserta didik akan mengerti dan menerima serta menyimpan dalam pikirannya. Tahap menerima dan mengingat ini harus terjadi pada diri orang yang sedang belajar. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan dan pengingatan ini, seperti struktur, makna, pengulangan pelajaran , dan interverensi.
  1.   Reproduksi
Dalam proses belajar, seseorang tidak hanya harus menerima dan mengingat informasi baru saja, tetapi ia juga harus dapat menemukan kembali apa-apa yang pernah dia terima. Agar peserta didik mampu melakukan reproduksi, pendidik perlu menyajikan pengajarannya dengan cara yang mengesankan.
  1.   Generalisasi
Pada tahap generalisasi ini, peserta didik harus mampu menerapkan hal yang telah dipelajari di tempat lain dan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Generalisasi juga dapat diartikan penerapan hal yang telah dipelajari dari situasi yang satu ke situasi yang lain.
  1.   Menerapkan Apa yang Telah Diajarkan serta Umpan Balik
Dalam tahap ini, peserta didik harus sudah memahami dan dapat menerapkan apa yang telah diajarkan. Untuk meyakinkan bahwa peserta didik telah benar-benar memahami, maka pembimbing dapat memberikan tugas atau tes yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Tes yang diberikan pun dapat berupa tes tertulis maupun lisan. Selanjutnya, pendidik berkewajiban memberikan umpan balik berupa penjelasan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan umpan balik seperti itu, peserta didik dapat mengetahui seberapa ia memahami apa yang diajarkan dan dapat mengoreksi dirinya sendiri.

3.      Membentuk Kemandirian Melalui Pendidikan Sepanjang hayat.
Setiap manuusia yang lahir di dunia ini tidak langsung dapat hidup mandiri. Di awal kehidupannya, ia akan membutuhkan bantuan dari orang lain, bahkan cenderung tergantung terhadap orang lain. Sejak bayi hingga anak-anak ia akan sangat membutuhkan peran keluarga dan orang-orang di sekitarnya agar dapat membantu ia untuk bertahan hidup. Namun seiring pertumbuhannya, sedikit demi sedikit ia akan mampu mengurangi tingkat ketergantungannya kepada orang lain, sehingga lama kelamaan ia dapat menjadi manusia yang mandiri.
Proses belajar akan mampu membuat manusia tumbuh dan berkembang sehingga mampu menjadi dewasa dan mandiri. Manusia mengalami perubahan dari yang sebelumnya selalu tergantung kepada orang lain menjadi manusia yang mandiri, bahkan justru akan mampu membantu orang lain. Perubahan seperti ini seharusnya terus terjadi sepanjang hayat selama manusia tersebut masih hidup. Namun pada kenyataannya, sebagian besar manusia berhenti belajar setelah mereka merasa cukup dewasa. Padahal pada dasarnya perubahan-perubahan sikap menuju arah yang lebih baik harus selalu dilakukan untuk mempersiapkan diri terhadap perubahan-perubahan yang timbul seperti halnya perubahan dalam bidang kemajuan teknologi dan pengetahuan. Mereka yang terus melakukan proses belajar akan dapat mengikuti perubahan yang ada, sedangkan mereka yang berhenti untuk belajar akan merasakan kesulitan dalam menghadapi perubahan dan akan cenderung menjadi manusia yang kurang mandiri.  
Sudjana (2001: 228) berpendapat bahwa dalam pengembangan sikap dan perilaku mandiri, pendidikan luar sekolah dapat berperan untuk membantu peserta didik sehingga ia dapat menyadari dan mengakui potensi dan kemampuan dirinya. Peserta didik perlu dibantu untuk mampu berdialog dengan dirinya dan lingkungannya. Program-program pendidikan non formal diarahkan untuk memotivasi peserta didik dalam upaya mengaktualisasi potensi diri, berpikir, dan berbuat positif terhadap lingkungan, serta mencapai kepuasan diri dan bermakna bagi lingkungan.
4.      Empat Pilar Pendidikan UNESCO
Upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
a)   Learning to know : Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya Learning to How. Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
b)   Learning to do : Pendidikan juga merupakan proses belajar untuk bisa melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi. Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
c)   Learning to be : Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri. Belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama. Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang).
d)  Learning to live together : Belajar memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya. Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama. Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together).
Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi lebih baik, namun yang menjadi masalah adalah dunia pendidikan di Indonesia yang saat ini masih minim fasilitas, terlebih lagi di daerah-daerah terpencil, belum meratanya fasilitas pendidikan, tentunya akan menjadi halangan bagi siswa untuk mengembangkan diri mereka. Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.


BAB II
                                                         PEMBAHASAN
2.1 RANGKUMAN MATERI
Pendidikan  sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Dimana tahap-tahap pelaksanaannya adalah harus ada : motivasi, perhatian dan pelajaran, menerima dan mengingat, reproduksi, generalisasi, menerapkan apa yang telah diajarkan serta umpan balik. Dimana pendidikan sepanjang hayat ini juga akan mampu membentuk kemandirian dari seseorang, salah satunya dengan pendidikan non formal, yang mampu membangkitkan daya pikir, berbuat positif dari, oleh dan untuk dirinya sendiri serta lingkungan. Dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama. Dengan melakukan empat pilar yang telah dikeluarkan oleh UNESCO, untuk itu semua pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia. Mengarah ke point ketiga, “Learning To Be belajar untuk menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Ini dimaksudkan agar seorang siswa mampu mewujudkan dan mengembangkan bakatnya sesuai dengan harapannya. Jadi tanpa peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang dicetuskan UNESCO tidak akan terlaksana dengan baik. Begitu juga dengan poin yang keempat “Learning to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu sendiri.

2.2 REVIEW MATERI
                  Adapun pendapat serta ulasan kami terhadap materi yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu, kami mendukung pernyataan-pernyataan dari materi di atas, karena pendidikan sepanjang hayat adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan dan ini adalah jalan utama untuk memanusiakan manusia. Jadi janganlah mencoba untuk berhenti belajar jika hanya dengan kata “cukup”, karena pendidikan bagaikan air yang akan terus mengalir, kita harus terus mencari dan mendapatkan hasil yang lebih baik dari pendidikan tersebut seperti kemandirian dan kedewasaan. Sehingga terus bangkitkan motivasi dalam diri kita dalam menjalani pendidikan sepanjang hayat tersebut.
      Lalu sudahkah pendidikan sepanjang hayat dan pengajaran tersebut sesuai dengan 4 pilar UNESCO?
Menurut pendapat kami, Adanya empat pilar pendidikan menurut UNESCO menjadi sorotan utama karena pilar-pilar tersebut bergerak dalam memajukan pendidikan. Namun ke-empat pilar tersebut belum terealisasi secara sempurna utamanya di Indonesia. Dalam hal ini pihak-pihak yang terkait dalam memajukan pendidikan itu belum melaksanakan kewajibannya dengan baik. “minimalisasi” selalu menjadi akar dan permasalahan pelik dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Pemerataan fasilitas masih jauh dari kata “sempurna dan memadai”. Dimana pembaharuan, rehabilitas hanya terpusat pada beberapa tempat umumnya kota-kota besar yang menjadi tempat sentral pendidikan, sementara di daerah yang sudah tidak terjamah lagi rasanya akan menjadi sesuatu yang sulit untuk memajukan pendidikannya karena pemerintah tidak memandang bagaimana kondisi pendidikan di daerah tersebut, apakah sudah sejahtera atau tidak dari segi pendidik dan peserta didik. Sebagaimana pilar pendidikan pada point pertama di atas, “Learning to know”, bagaimana siswa dapat menambah ilmu sebanyak-banyaknya misalnya di desa terpencil sedangkan fasilitasnya saja tidak memadai misalnya referensi bagi peserta didik disana. Lalu, mengarah ke point kedua, “Learning To Do”, masih terkait dari point di atas, tentu sesuatu yang sangat tidak mungkin untuk menghasilkan output yang berkualitas yang mampu berkarya jika tidak dibekali pengetahuan dimana fasilitas sebelumnya sudah tidak memadai. Mengarah ke point ketiga, “Learning To Be belajar untuk menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Jadi tanpa peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang dicetuskan UNESCO tidak akan terlaksana dengan baik. Begitu juga dengan poin yang keempat “Learning to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu sendiri. Disinilah diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam memajukan pendidikan Indonesia. Baik itu guru, pemerintah, masyarakat, orang tua siswa, dan juga siswa itu sendiri sebagai objek pendidikan. Yang nantinya mampu memajukan pendidikan di Indonesia agar mampu  mewujudkan negara yang maju dan mampu bersaing dengan dunia luar, dengan kualitas SDM yang tinggi.

  

BAB III
PENUTUP
4.1  SIMPULAN
  1. Pendidikan sepanjang hayat mutlak untuk dijalankan oleh setiap manusia yang terlahir ke dunia ini.
  2. Adapun empat pilar pendidikan yang dikeluarkan oleh UNESCO adalah learning to know, learning to do, learning to be,learning to live together.
  3. Jadi sangat diperlukan kerjasama dari semua pihak dalam implementasi empat pilar pendidikan UNESCO tersebut dalam “pendidikan sepanjang hayat” begitu juga pengajaran di Indonesia demi kualitas hidup manusia yang lebih baik.
4.2  SARAN
Laksanakan pendidikan sepanjang hayat tersebut dengan sepenuh hati, penuh motivasi, jangan sampai terputus. Janganlah cepat merasa puas dari apa yang telah didapatkan dari pendidikan yang telah kita jalani, karena pendidikan itu akan terus berlangsung dari kita lahir sampai mati. 



PERKEMBANGAN FISIK DAN KOGNITIF DI MASA REMAJA


        Masa remaja (adolesence) merupakan peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masyarakat industri, ketrampilan yang harus dikuasai oleh anak muda begitu kompleks dan pilihan dihadapan mereka begitu beragam sehingga masa remaja begitu luas.  Akan tetapi , dimanapun di penjuru dunia ini tugas pokok periode ini adalah sama. Hal ini yang dialami oleh Sabrina, Ia harus menerima badannya yang tumbuh dewasa, memiliki cara berpikir dewasa, memiliki kebebasan yang lebih luas dari keluarganya, mengembangkan cara-cara yang lebih dewasa dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya baik laki-laki maupun perempuan, dan mulai membangun sebuah identitas, perasaan yakin akan siapa dia sebenarnya dari sisi seksual, pekerjaan, moral ,etnik, agama serta nilai dan tujuan hidup lainnya.
Awal masa remaja ditandai dengan pubertas (Puberty), sebuah kumpulan peristiwa biologis yang mengarah pada badan ukuran dewasa dan kematangan seksual. Seperti ditunjukan oleh reaksi  sabrina, memasuki masa-masa remaja bisa menjadi masa-masa yang sangat menusahkan bagi sejumlah anak muda.
    Dalam Bab ini kita akan, menelusuri peristiwa pubertas dan membahas beragam masalah kesehatan latihan fiisik, nutrisi, aktifitas seksual , penyalagunaan obat-obatan dan masalah-masalah lain yang memengaruhi para remaja yang mengalami kesulitan dalam menuju masa dewasa.

1.      Perkembangan Fisik
v  Konsepsi tentang masa remaja
Para peneliti menyadari bahwa kekuatan biologis dan kekuatan sosial tampaknya menentukan perubahan psikologis remaja.
o   Perspektif Biologis
Menurut  (Hall, 1904) masa remaja sebagai sebuah periode yang begitu bergejolak hingga menyerupai  era peralihan evolusi manusia dari makhluk liar menjadi makhlluk beradab. Demikian juga,  (Anna Freud, 1969) yang memperluas fokus teori ayahnya, Sigmund Freud, tentang masa remaja sebagai sebuah gangguan perkembangan universal yang memiliki basis biologis. Dalam tahap genital (genital stage)  Freud mengatakan bahwa dorongan seksual bangkit kembali , menyulut konflik psikologis dan perilaku berubah-ubah. Ketika remaja menemukan teman intim, kekuatan batin secara bertahap mencapai keselaran baru dan matang, dan tahap itu diakhiri dengan pernikahan, kelahiran dan pengasuhan anak. Dalam cara ini, anak muda memenuhi takdir biologis mereka yaitu reproduksi seksual dan hidup species.

o   Perspektif Sosial
   Penelitian kontemporer mengungkapkan bahwa pandangan tentanng usia remaja sebagai masa bergejolak terlalu dibesar-besarkan. Benar bahwa masalah-masalah tertentu, seperi gangguan makan, depresi, lebih sering terjadi dibanding masa-masa sebelumnya, akan tetapi secara keseluruhan tingkat gangguan psikologis hanya mengalami sedikit peningkatan sekitar tiga persen dari masa kanak-kanak . Sedangkaan pada masa remaja hampir sama dengan populasi orang dewasa yaitu sekitar 15% (Robert  Attkisson, 1998).
   Saat ini , kita tahu bahwa kekuatan biologis, psikologis, dan sosial bergabung bersama memengaruhi perkembangan remaja (Magnuson, 1999). Perubahan biologis sifatnya universal  dijumpai pada semua makhluk primata dan budaya. Tekanan batin dan pengharapan sosial yang menyertai bahwa anak muda meninggalkan cara-cara kekanak-kanakan, mengembangkan hubungan interpersonal baru, dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Masa remaja memunculkan masa-masa ketidakpastian, keraguan diri, dan kekecewaan dikalangan remaja.

Para ahli membagi masa remaja menjadi 3 tahap yaitu :
1.       Remaja awal (11-12 hingga 14 tahun) ini merupakan periode perubahan pubertas yang cepat.
2.       Remaja Pertengahan (14-16 tahun) merupakan perubahan pubertas hampir selesai.
3.        Remaja akhir (16-18 tahun) merupakan sosok anak muda yang mencapai penampilan dewasa sepenuhnya dan mengantisipasi asumsi tentang  peran orang dewasa.
Semakin banyak diberikan oleh lingkungan sosial pada kaum muda dalam mengemban tanggung jawab dewasa, semakin baik dalam mereka menyesuaikan diri.  Bagi semua ketegangan biologis dan ketidakpastian seputar masa depan yang dirasahkan oleh para remaja, kebanyakan mereka mampu mengatasinya dengan baik dalam periode ini. Dengan melihat semua ini mari kita melihat lebih dekat pada pubertas  yaitu gerbang bagi perkembangan remaja.

2.      Pubertas: Transisi Fisik Menuju Kedewasaan
Perubahan pubertas bersifat dramatis. Proses hormonal genetik mengatur pertumbuhan pubertas, yaitu anak perempuan lebih mengalami kematangan fisik sejak masa kehamilan, rata-rata mencapai masa pubertas 2 tahun mendahului anak laki-laki.
v  Perubahan Hormonal
Perubahan hormonal kompleks yang mendasari pubertas trjadi secara bertahap dan berlangsung di usia 8 atau 9 tahun. Sekresi hormon pertumbuhan dan tiroksin meningkat menyebabkan pembesaran luar biasa ukuran tubuh dan pencapaian kematangan tulang.
Kematangan seksual dikendalikan oleh hormon seks. Sekalipun kita menganggap esterogen sebagai  hormon perempuan dan androgen sebagai hormon laki-laki kedua jenis ini ada dalam setiap kelamin tetapi dalam jumlah yang berbeda.
v  Pertumbuhan Tubuh
Tanda lahiriah pertama dari pubertas adalah pertambahan cepat tinggi dan berat badan yang dikenal dengan pacu tumbuh (Growth spurt). Rata-rata pacuh tumbuh dialami oleh anak perempuan setelah umur 10 tahun, dan oleh anak laki-laki sekitar usia 12 tahun. Oleh karena itu estrogen memicu dan kemudian menahan sekresi GH lebih siap dibanding androgen, anak perempuan biasanya lebih tinggi dan lebih berat selama masa remaja awal.  Akan tetapi, diusia 14 tahun anak perempuan diungguli anak laki-laki yang dipacuh tumbuh remajanya sudah mulai terjadi, sementara pacu tumbuh anak perempuansudah hampir selesai. Pertumbuhan ukuran tubuh selesai bagi kebanyakan anak perempuan di usia 16 tahun dan bagi anak laki-laki di usia 17 tahun, saat epifisis pada ujung tulang panjang menutup sempurna. Secara keseluruhan remaja bertamba tinggi 10 hingga 11 inci dan berat 50 hingga 75 pon mendekati 50% dari berat tubuh orang dewasa. Menunjukan pertumbuhan pubertas dalam pertumbuhan secara umum.

v  Perkembangan motorik dan aktivitas fisik
Pubertas menyebabkan kinerja motorik kasar semakin baik, tetapi pola perubahan ini berbeda pada diri anak laki-laki dan perempuan. Perubahan pada anak perempuan bersifat lambat dan bertahap, dan mengalami perubahan datar di usia 14 tahun. Sebaliknya anak laki-laki menunjukan pacu tumbuh besar dalam hal kekuatan, kecepatan dan daya tahan yang terus berlanjut hingga masa-masa remaja. Di tengah masa remaja pertengahan, sedikit sekali anak perempuan yang memiliki kinerja sama baiknya seperti rata-rata anak laki-laki dalam hal kecepatan lari, lompatan papan, dan jarak lemparan, dan praktisnya tidak ada anak laki-laki tang memiliki skor sama rendah dengan rata- rata anak perempuan. Oleh karena anak perempuan dan anak laki-laki secara fisik tidak lagi sebanding, pendidikan jasmani dengan pemisahan laki-laki dan perempuan biasanya di mulai di SMA atau SMP.

v  Kematangan seksual
Terjadi seiring pertumbuhan pesat tubuh adalah pertumbuhan ciri-ciri fisik terkait pemfungsian seksual. Beberapa ciri , seksual primer melibatkan organ reproduksi. Ciri-ciri lainnya, yang disebut dengan ciri seksual sekunder bisa dilihat pada bagian luar tubuh dan berperan sebagai tanda lain kematangan seksual misalnya perkembangan payudara dan munculnya bulu ketiak dan rambut kelamin baik pada laki-laki maupun perempuan.

·         Kematangan seksual pada anak perempuan.
      Pebertas pada perempuan biasanya di mulai dengan tumbuhnya payudara dan pacu tumbuh. Menarke atau menstruasi pertama, biasanya terjadi sekitar usia 12 tahun.  Akan tetapi rentang usia itu sangat beragam, mulai 10 hingga 15 tahun.

·         Kematangan seksual pada anak laki-laki.
Tanda pertama  pubertas pada anak laki-laki adalah pembesaran testis (Kelenjar yang memproduksi sperma), disertai dengan perubahan pada skrotum. Rambut kelamin tumbuh bersamaan dengan waktu pertama penis mulai membesar (Clark, 2002). Dari sisi urutan peristiwa pubrtas,  pacu tumbuh jauh terlambat pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Ketika pacu tumbuh itu mencapai puncaknya di sekitar 14 tahun pembesara penis dan testis hampir selesai, dan bulu ketiak muncul. Begitu juga dengan rambut wajah atau tubuh, yang meningkat secara bertahap selama beberapa tahun. Tanda lain kematangan fisik laki-laki adalah pendalaman suara saat laring membesar dan pita suara memanjang. Selain itu penis membesar, kelenjar prostat atau kandungan semen(yang memproduksi cairan sperma)membesar. Kemudian sekitar usia 13 tahun, spermake atau cairan sperma keluar untuk pertama kalinya (Rogol, Roemich dan Clark 2002). Untuk sementara,  air mani itu mengandung beberapa sperma hidup. Jadi,  seperti anak perempuan,  anak laki-laki memiliki periode awal menurunnya kesuburan.

v  Perbedaan Individu dalam Perumbuhan Pubertas.
   Keturunan berperan penting dalam pewaktuan pertumbuhan pubertas. Pada kaum hawa, lonjakan berat tubuh dan lemak dapat memicu kematangan seksual. Sel-sel lemak melepaskan protein yang disebut dengan leptin. Yang diyakini menberi sinyal pada otak bahwa simpanan energi  seorang anak perempuan telah cukup bagi pubertas .  Variasi dalam pertumbuhan juga dijumpai di wilayah-wilayah di dunia dan di kalangan kelompok  etnis dan SES. Kesehatan fisik memainkan peran utama. Di daerah miskin tempat dimana mal nutrisi dan penyakit-penyakit menular dijumpai menarke tertunda lama., terjadi paling cepat di usia 14-16 tahun di banyak daerh di Afrika.  Di negara – negara berkembang , anak perempuan dari keluarga kaya mngalami menarke 6-18 bulan lebih awal dari mereka yang tinggal di keluarga miskin (Parent dkk, 2003).

o   Perkembangan Otak.
   Perubahan fisik di masa remaja meliputi perubahan besar dalam otak. Pencitraan otak menunjukan adanya pemangkasan berkelanjutan terhadap sinapsis tidak terpakai dalam korteks serebral, terutama lobus frontal  sebagai pengatur pikiran dan tindakan. Di samping itu, pertumbuhan dan mielinasi serat saraf terstimulasi semakin cepat memperkuat hubungan di antara berbagai daerah di otak. Terlebih lagi hubungan antara kedua belahan otak melalui korpus kolosumdan antar lobus trontal dan darah-daerah otak lainnya.meluas dan berkomunikasi dengan cepat (Keating , 2004). Perubahan otak remaja ini mendukung beragam ketrampilan kognitif, termasuk semakin membaiknya tingkat kecepatan pengolahan, atensi, memori, perencanaan, kemempuan mengintegrasikan informasi dan regulasi diri.

o   Mengubah Keadaan Rangsangan
   Di masa pubertas, perubahan terjadi dalam cara otak mengatur waktu tidur, mungkin karena semakin meningkatnya kepekaan seraf terhadap cahaya malam hari. Akibatnya remaja tidur lebih lambat dibanding ketika mereka masi anak-anak. Akan tetapi mereka tetep memerlukan waktu tidur sebanyak yang mereka butuhkan di masa kanak-kanak pertengahan.
   Fase tunda tidur ini menguat seiring pertumbuhan pubertas. Akan tetapi remaja hari ini kerap kali memiliki aktifitas kegiatan sosial dan kegiatan paruh waktu di malam hari. Akibatnya waktu tidur mereka jauh berkurang dibanding remaja generasi sebelumnya (Jenni, 2004). Remaja kurang tidur ini memilik kinerja sangat buruk terutama pada tugas-tugas kognitif di pagi hari. Mereka cenderung berprestasi buruk di sekolah, merasa tertekan dan terlibat dalam perilaku beresiko tinggi, termasuk mabuk-mabukan dan sebagainya.

v  Dampak Pskologis Terhadap Peristiwa Pubertas.
Ketika anda mengalami pubertas, bagaimana perasaan anda tentang diri anda dan hubungan anda dengan orang lain berubah? Penelitian mengunkapkan bahwa peristiwa pubartas memengaruhi citra diri, suasana hati dan dan interaksi remaja dengan orang tua.dan rekan sebaya.

o   Reaksi  Terhadap Perubahan Pubertas.
Bagi dua generasi yang lalu, menarke merupakan sebuah peristiwa yang kerap kali menakutkan. Saat ini, anak perempua umumnya bereaksi dengan terkejut  tidak diragukan lagi karena kejadiannya terjadi secara tiba-tiba. Jika tidak, mereka biasanya menceritakan gabungan emosi positif dan negatif. Akan tetapi, ada perbedaan individu yang besar dan bergantung pada pengetahuan sebelumnya dan dukungan dari para anggota keluarga yang pada gilirannya dipengaruhi oleh sikap budaya terhadap pubertas dan seksualitas.

v  Perubahan Pubertas, Emosi, dan Perilaku Sosial
Ada keyakinan umum bahwa pubertas memiliki kaitan dengan kemurungan dan keinginan remaja bagi keterpisaan fisik dan psikologis yang lebi besar dari orang tua.
o   Kemurungan Remaja.
Kadar hormon pubertas yang lebih tinggi berkaita dengan perasaan murung yang lebih besar, tetapi hanya sesederhana itu (Becher, 1992). Faktor apa lagi yang mungkin berperan? Dalam beberapa  studi,  suasana hati anak-anak,  remaja, dan orang dewasa dipantau engan meminta mereka penyeranta elektronik. Selama seminggu, mereka diseranta secara acak dan diminta untuk menulis apa yang tengah mereka perbuat, mereka sedang bersama siapa, dan bagaimana perasaan mereka.