Pendidikan
pada dasarnya adalah proses komunikasi yang didalamnya mengandung transformasi
pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan, di dalam dan di luar
sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke generasi (Dwi
Siswoyo, 2008: 25). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari
seluruh kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka
telah melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain
adalah untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas,
terampil, mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat
melangsungkan kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama. Di
sinilah peran lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk membantu
masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang telah disampaikan di atas,
melalui pendidikan sepanjang hayat manusia diharapkan mampu menjadi manusia
yang terdidik
1.
Pengertian Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan
sepanjang hayat (life
long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang
dilakukann oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang
hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Melalui pendidikan
sepanjang hayat, manusia selalu belajar melalui peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman yang telah dialami. Konsep
pendidikan sepanjang hayat tidak mengenal batas usia, semua manusia baik yang
masih kecil hingga lanjut usia tetap bisa menjadi peserta didik, karena cara
belajar sepanjang hayat dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.
Menurut
pendapat Sudjana (2001: 217-218) pendidikan sepanjang hayat harus didasarkan
atas prinsip-prinsip pendidikan di bawah ini :
a.
Pendidikan hanya akan berakhir apabila manusia telah meninggal dunia.
b.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik
untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisi dan
sistimatis.
c.
Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui, dan meningkatkan
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
d.
Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar
dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang melakukan kegiatan
belajar.
e. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi
perkembangan kehidupan manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar
manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Tahap Proses Belajar Pendidikan Sepanjang
Hayat
Tahapan
belajar manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama
ialah proses belajar yang tidak dapat dilihat oleh panca indera, karena proses
belajar terjadi dalam pikiran seseorang yang sedang melakukan kegiatan belajar.
Proses ini sering disebut dengan proses intern. Bagian yang kedua disebut
proses belajar ekstern, proses ini dapat menunjukkan apakah dalam diri
seseorang telah terjadi proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan ke
arah yang lebih baik.
Menurut
Suprijanto (2007) proses belajar yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang
belajar berlangsung melalui enam tahapan yaitu :
a.
Motivasi
Yang dimaksud motivasi di
sini adalah keinginan untuk mencapai suatu hal. Apabila dalam diri peserta
didik tidak ada minat untuk belajar, tentu saja proses belajar tidak akan
berjalan dengan baik. Jika demikian halnya, pendidik harus menumbuhkan minat
belajar tersebut dengan berbagai cara, antara lain dengan menjelaskan
pentingnya pelajaran dan mengapa materi itu perlu dipelajari.
- Perhatian
pada Pelajaran
Peserta didik harus dapat
memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Apabila hal itu tidak terjadi maka
proses belajar akan mengalami hambatan. Perhatian peserta ini sangat tergantung
pada pembimbing.
- Menerima dan Mengingat
Setelah memperhatikan
pelajaran, seorang peserta didik akan mengerti dan menerima serta menyimpan
dalam pikirannya. Tahap menerima dan mengingat ini harus terjadi pada diri
orang yang sedang belajar. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
penerimaan dan pengingatan ini, seperti struktur, makna, pengulangan pelajaran
, dan interverensi.
- Reproduksi
Dalam proses belajar,
seseorang tidak hanya harus menerima dan mengingat informasi baru saja, tetapi
ia juga harus dapat menemukan kembali apa-apa yang pernah dia terima. Agar
peserta didik mampu melakukan reproduksi, pendidik perlu menyajikan
pengajarannya dengan cara yang mengesankan.
- Generalisasi
Pada tahap generalisasi
ini, peserta didik harus mampu menerapkan hal yang telah dipelajari di tempat
lain dan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Generalisasi juga dapat diartikan
penerapan hal yang telah dipelajari dari situasi yang satu ke situasi yang
lain.
- Menerapkan Apa yang
Telah Diajarkan serta Umpan Balik
Dalam tahap ini, peserta
didik harus sudah memahami dan dapat menerapkan apa yang telah diajarkan. Untuk
meyakinkan bahwa peserta didik telah benar-benar memahami, maka pembimbing
dapat memberikan tugas atau tes yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Tes
yang diberikan pun dapat berupa tes tertulis maupun lisan. Selanjutnya,
pendidik berkewajiban memberikan umpan balik berupa penjelasan mana yang benar
dan mana yang salah. Dengan umpan balik seperti itu, peserta didik dapat
mengetahui seberapa ia memahami apa yang diajarkan dan dapat mengoreksi dirinya
sendiri.
3. Membentuk Kemandirian Melalui Pendidikan
Sepanjang hayat.
Setiap
manuusia yang lahir di dunia ini tidak langsung dapat hidup mandiri. Di awal
kehidupannya, ia akan membutuhkan bantuan dari orang lain, bahkan cenderung
tergantung terhadap orang lain. Sejak bayi hingga anak-anak ia akan sangat
membutuhkan peran keluarga dan orang-orang di sekitarnya agar dapat membantu ia
untuk bertahan hidup. Namun seiring pertumbuhannya, sedikit demi sedikit ia
akan mampu mengurangi tingkat ketergantungannya kepada orang lain, sehingga
lama kelamaan ia dapat menjadi manusia yang mandiri.
Proses
belajar akan mampu membuat manusia tumbuh dan berkembang sehingga mampu menjadi
dewasa dan mandiri. Manusia mengalami perubahan dari yang sebelumnya selalu
tergantung kepada orang lain menjadi manusia yang mandiri, bahkan justru akan
mampu membantu orang lain. Perubahan seperti ini seharusnya terus terjadi
sepanjang hayat selama manusia tersebut masih hidup. Namun pada kenyataannya,
sebagian besar manusia berhenti belajar setelah mereka merasa cukup dewasa.
Padahal pada dasarnya perubahan-perubahan sikap menuju arah yang lebih baik
harus selalu dilakukan untuk mempersiapkan diri terhadap perubahan-perubahan
yang timbul seperti halnya perubahan dalam bidang kemajuan teknologi dan
pengetahuan. Mereka yang terus melakukan proses belajar akan dapat mengikuti
perubahan yang ada, sedangkan mereka yang berhenti untuk belajar akan merasakan
kesulitan dalam menghadapi perubahan dan akan cenderung menjadi manusia yang
kurang mandiri.
Sudjana
(2001: 228) berpendapat bahwa dalam pengembangan sikap dan perilaku mandiri,
pendidikan luar sekolah dapat berperan untuk membantu peserta didik sehingga ia
dapat menyadari dan mengakui potensi dan kemampuan dirinya. Peserta didik perlu
dibantu untuk mampu berdialog dengan dirinya dan lingkungannya. Program-program
pendidikan non formal diarahkan untuk memotivasi peserta didik dalam upaya
mengaktualisasi potensi diri, berpikir, dan berbuat positif terhadap
lingkungan, serta mencapai kepuasan diri dan bermakna bagi lingkungan.
4. Empat
Pilar Pendidikan UNESCO
Upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa
tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari
pemikiran itu UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan sekarang dan masa
depan yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to
live together.
a) Learning
to know : Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencari agar
mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Penguasaan
yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya Learning to
How. Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui),
Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru
dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam
rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
b) Learning to do : Pendidikan juga merupakan
proses belajar untuk bisa melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar
menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta
pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan,
perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Pendidikan
membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk
terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan. Belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam
team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi. Sekolah sebagai wadah
masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan
keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do”
(belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat
dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya
bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama
bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan
keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
c) Learning to be : Penguasaan pengetahuan dan
keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to
be). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik,
kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa
yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas
untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai
kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk
menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal. Menjadi diri
sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri.
Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat,
belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian
aktualisasi diri. Belajar untuk dapat
mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk
menjadi seseorang).
d) Learning to live together : Belajar memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan
nilai-nilai agamanya. Terjadinya proses “learning to live together” (belajar
untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup
bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan
disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling
pengertian antar ras, suku, dan agama. Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai
hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu
berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu
menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang
lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat
(learning to live together).
Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan
pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi
lebih baik, namun yang menjadi masalah adalah dunia pendidikan di Indonesia
yang saat ini masih minim fasilitas, terlebih lagi di daerah-daerah terpencil,
belum meratanya fasilitas pendidikan, tentunya akan menjadi halangan bagi siswa
untuk mengembangkan diri mereka. Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus
diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta
sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang
demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat
yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 RANGKUMAN MATERI
Pendidikan
sepanjang hayat (life long education)
adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai
meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak
asing lagi. Dimana tahap-tahap pelaksanaannya adalah harus ada : motivasi,
perhatian dan pelajaran, menerima dan mengingat, reproduksi, generalisasi,
menerapkan apa yang telah diajarkan serta umpan balik. Dimana pendidikan
sepanjang hayat ini juga akan mampu membentuk kemandirian dari seseorang, salah
satunya dengan pendidikan non formal, yang mampu membangkitkan daya pikir,
berbuat positif dari, oleh dan untuk dirinya sendiri serta lingkungan. Dalam
upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang
dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar tersebut
adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk
mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di
samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog
bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah
sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk
mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar
“Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau
sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan
berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita
ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan
seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar
ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi
seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan
fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal :
bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan
cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru
sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan
untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning
to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar
keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan
menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan
tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama. Dengan melakukan
empat pilar yang telah dikeluarkan oleh UNESCO, untuk itu semua pendidikan di
Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan
profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap
manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat
Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia. Mengarah ke
point ketiga, “Learning To Be” belajar untuk
menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang
dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu
bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas
baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Ini dimaksudkan agar
seorang siswa mampu mewujudkan dan mengembangkan bakatnya sesuai dengan
harapannya. Jadi tanpa peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang
dicetuskan UNESCO tidak akan terlaksana dengan baik. Begitu juga dengan poin
yang keempat “Learning to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan
bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat yang aman tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan
budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar
sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk
menjalani kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu
sendiri.
2.2
REVIEW MATERI
Adapun pendapat serta ulasan
kami terhadap materi yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu, kami mendukung
pernyataan-pernyataan dari materi di atas, karena pendidikan sepanjang hayat
adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan dan ini adalah jalan utama untuk
memanusiakan manusia. Jadi janganlah mencoba untuk berhenti belajar jika hanya
dengan kata “cukup”, karena pendidikan bagaikan air yang akan terus mengalir,
kita harus terus mencari dan mendapatkan hasil yang lebih baik dari pendidikan
tersebut seperti kemandirian dan kedewasaan. Sehingga terus bangkitkan motivasi
dalam diri kita dalam menjalani pendidikan sepanjang hayat tersebut.
Lalu sudahkah pendidikan sepanjang hayat dan
pengajaran tersebut sesuai dengan 4 pilar UNESCO?
Menurut pendapat kami, Adanya empat pilar pendidikan menurut UNESCO menjadi
sorotan utama karena pilar-pilar tersebut bergerak dalam memajukan pendidikan.
Namun ke-empat pilar tersebut belum terealisasi secara sempurna utamanya di
Indonesia. Dalam hal ini pihak-pihak yang terkait dalam memajukan pendidikan
itu belum melaksanakan kewajibannya dengan baik. “minimalisasi” selalu menjadi
akar dan permasalahan pelik dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Pemerataan fasilitas masih jauh dari kata “sempurna dan memadai”. Dimana
pembaharuan, rehabilitas hanya terpusat pada beberapa tempat umumnya kota-kota
besar yang menjadi tempat sentral pendidikan, sementara di daerah yang sudah
tidak terjamah lagi rasanya akan menjadi sesuatu yang sulit untuk memajukan
pendidikannya karena pemerintah tidak memandang bagaimana kondisi pendidikan di
daerah tersebut, apakah sudah sejahtera
atau tidak dari segi pendidik dan peserta didik. Sebagaimana
pilar pendidikan pada point pertama di atas, “Learning to know”,
bagaimana siswa dapat menambah ilmu sebanyak-banyaknya misalnya di desa
terpencil sedangkan fasilitasnya saja tidak memadai misalnya referensi bagi
peserta didik disana. Lalu, mengarah ke point kedua, “Learning To Do”,
masih terkait dari point di atas, tentu sesuatu yang sangat tidak mungkin untuk
menghasilkan output yang berkualitas yang mampu berkarya jika tidak dibekali
pengetahuan dimana fasilitas sebelumnya sudah tidak memadai. Mengarah ke point
ketiga, “Learning To Be” belajar untuk
menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang
dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu
bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas
baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Jadi tanpa peranan
guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang dicetuskan UNESCO tidak akan
terlaksana dengan baik. Begitu juga dengan poin yang keempat “Learning
to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan bersama. Maksud
dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman
tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan budaya dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar sesama manusia
sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk menjalani
kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu sendiri. Disinilah
diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam memajukan pendidikan Indonesia.
Baik itu guru, pemerintah, masyarakat, orang tua siswa, dan juga siswa itu
sendiri sebagai objek pendidikan. Yang nantinya mampu memajukan pendidikan di
Indonesia agar mampu mewujudkan negara
yang maju dan mampu bersaing dengan dunia luar, dengan kualitas SDM yang tinggi.
BAB
III
PENUTUP
4.1
SIMPULAN
- Pendidikan sepanjang hayat
mutlak untuk dijalankan oleh setiap manusia yang terlahir ke dunia ini.
- Adapun empat pilar pendidikan
yang dikeluarkan oleh UNESCO adalah learning to know, learning to do,
learning to be,learning to live together.
- Jadi sangat diperlukan
kerjasama dari semua pihak dalam implementasi empat pilar pendidikan
UNESCO tersebut dalam “pendidikan sepanjang hayat” begitu juga pengajaran
di Indonesia demi kualitas hidup manusia yang lebih baik.
4.2
SARAN
Laksanakan pendidikan
sepanjang hayat tersebut dengan sepenuh hati, penuh motivasi, jangan sampai
terputus. Janganlah cepat merasa puas dari apa yang telah didapatkan dari
pendidikan yang telah kita jalani, karena pendidikan itu akan terus berlangsung
dari kita lahir sampai mati.