Selasa, 08 Oktober 2013

UJI RESISTENSI


BAB I
PENDAHULUAN 
A.  LATAR BELAKANG
Pengobatan tradisional yang bahannya dari sumberdaya alam hayati seperti dari tumbuh-tumbuhan telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Hingga kini jamu tradisional masih digunakan oleh sebagian besar masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit. Tumbuhan obat merupakan salah satu topik yang sangat penting dalam obat tradisional dan sebagai bahan alternatif  untuk menyembuhkan berbagai penyakit (Arifin, 2009).
Penggunaan tanaman obat untuk penyembuhan suatu penyakit didasarkan pada pengalaman yang secara turun temurun yang diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Tanaman obat merupakan suatu komponen penting dalam pengobatan tradisional (Prapti, 2008 ).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat adalah tanaman turi (Sesbania grandiflora). Tanaman turi diketahui mengandung beberapa senyawa aktif yang salah satunya mengandung tanin yang aktivitasnya sebagai antibakteri (Hutapea, 2000). Tanin dan derivatnya dapat berfungsi sebagai antibakteri karena mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri (Jawetz et al., 1996).
Secara tradisional tanaman turi cenderung digunakan masyarakat sebagai obat tradisional karena mempunyai khasiat yang sangat potensial dalam menyembuhkan berbagai penyakit seperti luka, erupsi kulit, memar akibat terpukul, disentri dan sariawan karena tanaman turi mengandung beberapa senyawa aktif yang salah satunya  yaitu tanin yang diduga mempunyai senyawa bioaktivitas sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (Hutapea, 2000)
Kemampuan kulit turi sebagai antibakteri juga di kemukakan oleh (Suryowinoto,1997) bahwa selain bersifat antibakteri, kulit turi juga bersifat antijamur. Kemampuan kulit turi ini berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam kulit batang tanaman tersebut. Komponen kimia tersebut adalah tannin karena berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan bakteri (Iryanto, 2006)
Bakeri Staphylococcus aureus merupakan bakteri berbentuk kokus  yang hidup bergerombol. Bakteri ini merupakan mikroba berbahaya yang bisa menyebabkan infeksi pada kulit dan meracuni makanan sehingga menimbulkan penyakit serius pada manusia. Staphylococcous aureus menginfeksi tubuh manusia terutama tubuh yang sel imunnya lemah. Stapylococcus aureus dapat mengganggu sistem imun manusia karena mengikat antibody dan menyerang membran sel serta menyebabkan hemolisis (Todar, 2008).
 Penyakit-penyakit yang disebarkan oleh Staphylococcus aureus diantaranya Impetigo (pengerasan kulit), cellulitis (peradangan di bawah kulit), mastitis (peradangan payudara),  pioderma (penyakit kulit) dan furunkel (peradangan pada folikel rambut) (Jawets et al., 2001).  
           Penelitian yang dilakukan oleh Lingga di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Padjadjaran, menyatakan bahwa ekstrak tanaman turi mempunyai aktivitas antibakteri terhadap  Staphylococcus aureus  dengan metode difusi agar, dengan zona hambatan 11 mm untuk zona hambatan Staphylococcus aureus sebesar 20 mm.  Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun turi yang dimaserasi dalam air dan etanol.  (Sukarsono, 2003) menyatakan bahwa daun turi  memberikan khasiat yang baik bila digabungkan dengan minuman anggur (wine), sehingga pada penelitian Lingga ini untuk mengekstrak daun turi yang telah dimaserasi dalam etanol. Telah diketahui juga bahwa etanol bersifat polar, sehingga zat-zat polar yang terdapat dalam ekstrak daun turi dapat terekstraksi dengan pelarut tersebut, dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Hal diatas mendasari penulis untuk melakukan pengujian dengan menggunakan kulit batang turi dengan pelarut aceton serta  metode difusi agar   untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak kulit turi dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Dengan demikian penulis melakukan penelitian dengan judulUJI RESISTENSI Staphylococcus aureus TERHADAP ANTIBAKTERI EKSTRAK NON POLAR KULIT TURI (Sesbania grandiflora).
B.  RUMUSAN MASALAH
Apakah Staphylococcus aureus resistensi terhadap senyawa antibakteri ekstrak non polar kulit turi ( sesbania grandiflora )
C.  TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui resistensi  Staphylococcus aureus terhadap senyawa antibakteri ekstrak non polar kulit turi ( Sesbania grandiflora )
D.  MANFAAT PENELITIAAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kegunaan ekstrak tanaman turi (Sesbania grandiflora ) dapat digunakan sebagai zat antimikroba alami.
BAB II
LANDASAN TEORI

A.  Gambaran umum Tanaman Turi Sesbania grandiflora )
1. Deskripsi Dan Morfologi  Tanaman Turi (Sesbania grandiflora)
Turi (Sesbania grandiflora merupakan pohon kecil dengan tingginya rata-rata mencapai 10 meter. Bentuk pohon dengan percabangan jarang, cabang mendatar, batang utama tegak, tajuk cenderung meninggi, daun menyirip ganda. Bunganya tersusun majemuk, mahkota berwarna putih, tipe kupu-kupu khas Faboideae. Buahnya berbentuk polong dan menggantung.  Kulit luar batang pohonnya berwarna kelabu hingga kecoklatan, tidak rata, dengan alur membujur dan melintang tidak beraturan, lapisan gabus mudah terkelupas sedangkan bagian dalam berair dan sedikit berlendir.  Percabangan baru keluar setelah tinggi tanaman mencapai sekitar 5 meter. Berdaun majemuk yang letaknya tersebar dengan daun penumpu yang panjangnya 0,5-1,0 cm.  Panjang daun 20-30 cm, menyirip genap dan 20-40 pasang anak daun yang bertangkai pendek. Helaian anak daun berbentuk jorong memanjang, tepi rata, panjang 3-4 cm dan lebar 0,8-1,5 cm. Bunganya besar dalam tandan yang keluar dari ketiak daun, letaknya menggantung dengan 2-4 bunga yang bertangkai, kuncupnya berbentuk sabit, panjangnya 7-9 cm. Bila mekar, bunganya berbentuk kupu-kupu (Raina, 2011)
          Ada dua varietas tanaman turi yaitu yang berbunga putih dan berbunga merah. Buah bentuk polong yang menggantung, berbentuk pita dengan sekat antara, panjang 20-55 cm dan lebar 7-8 mm. Jumlah bijinya sekitar 15-50 biji dan letak melintang di dalam polong. Akarnya berbintil-bintil, berisi bakteri yang dapat memanfaatkan nitrogen, sehingga bisa menyuburkan tanah. Daun, bunga dan polong muda dapat dimakan sebagai sayur atau dipecel. Daun muda setelah dikukus kadang dimakan oleh ibu yang sedang menyusui anaknya untuk menambah produksi asi, walaupun baunya tidak enak dan berlendir. Bunganya gurih dan manis sehingga biasa dimakan sebagai pecel. Daun dan ranting muda juga merupakan makanan ternak yang kaya protein.
Masa kini masyarakat lebih cenderung menggunakan obat antibakteri yang berasal dari ekstrak tumbuhan dalam menghambat pertumbuhan bakteri karena diduga adanya kandungan kimia yang terkandung didalam tumbuhan tersebut. Dari sekian banyak tumbuhan yang mempuyai manfaat dan khasiat salah satu tumbuham penghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus  adalah tanaman turi yang di dalam kulit batang terdapat salah satu senyawa aktif yakni tannin yang bekerja sebagai penghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus      (Syamsunir, 1992).
Daun tanaman turi juga dipakai sebagai pupuk hijau. Daunnya mengandung saponin sehingga dapat digunakan sebagai pengganti sabun setelah diremas-remas dalam air untuk mencuci pakaian. Sari kulit batang pohon turi digunakan untuk menguatkan dan mewarnai jala ikan. Kulit batang turi merah kadang dijual dengan nama kayu timor. Turi berbunga merah lebih banyak dipakai dalam pengobatan karena kadar taninnya lebih tinggi sehingga lebih manjur untuk pengobatan luka ataupun disentri. Perbanyakan dengan biji atau stek batang (Prapti, 2008).
2Klasifikasi Tanaman  Turi (Sesbania grandiflora)
Klasifikasi tanaman turi (Sesbania grandiflora) adalah sebagai berikut:
Divisi      :  Magnoliophyta
Kelas       :  Magnoliopsida
Ordo        :  Fabales
Famili      :  Fabaceae
subfamili :  Faboideae
Bangsa      :  Robinieae
Genus       :  Sesbania
Spesies      :  Sesbania grandiflora (Arifin, 2009).
3. Kandungan Kimia Dalam Tanaman Turi (Sesbania grandiflora)
Senyawa kimia yang terdapat dalam kulit batang turi antara lainnya yaitu tanin yang dapat dipakai sebagai antimikroba (bakteri dan virus) juga dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan pada lemak dan minyak goreng agar lemak dan minyak goreng tidak mudah rusak serta dimanfaatkan sebagai bahan antiseptik dan antioksidan dalam makanan (Sukarsono, 2003).
4. Manfaat  Tanaman Turi  (Sesbania grandiflora)  Sebagai Obat Tradisional
Tanaman turi dapat menyembuhkan  berbagai penyakit khususnya kulit batang tanaman turi dapat menyembuhkan: sariawan, disentri, diare, cacar air, demam, erupsi kulit,  keseleo,  memar akibat terpukul (hematona),  luka, keputihan (fluoralbus), batuk,  hidung berlendir,  sakit kepala, radang tenggorokan, memperbanyak dan memperlancar air susu ibu, pegalinu (rheumatism) dan batuk berdahak.
Cara untuk menyembuhkan sariawan yaitu merebus satu genggam kulit batang turi dengan  air sebanyak 3 gelas hingga tersisa 1 gelas. Setelah dingin air rebusannya dipakai untuk berkumur. Mengobati cacar air, demam dengan erupsi kulit dilakukan dengan cara sebagai berikut yaitu ambil kulit batang turi sebesar ibu jari kemudian direbus dengan air secukupnya. Setelah dingin, disaring dan diminum  (Pratignjo,1980).
B.  Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri yang merugikan. Antibakteri termasuk kedalam antimikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat tosik selektif yang artinya yaitu dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. (Dwidjoseputro, 2005).
1.    Daya Kerja Anti Mikroba
Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri menurut Pelezar dan Chan diantaranya yaitu :
a)    Penghambatan sintesis dinding sel bakteri
Langka pertama kerja obat berupa pengikatan obat pada reseptor sel kemudian dilanjutkan dengan reaksi transpeptidase dan sintensis peptidoglikan terhambat. Mekanisme diakhiri dengan pembuangan atau penghentian aktifitas penghambat enzim autolisis pada dinding sel. Pada lingkungan yang isotonislisis terjadi pada lingkungan yang jelas hipertonik maka mikroba berubah menjadi protoplas atau steroplas yang hanya tertutup oleh selaput sel yang  rapuh. Sebagai contoh antibakteri dengan mekanisme kerja diatas adalah penicilin, sefalosporin, vankomisin, basitrasin, sikloserin dan ampisilin.
b)   Penghambatan keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri
Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh selaput sitoplasma yang bekerja sebagai penghalang permeabilitas selektif melakukan fungsi pengangkutan aktif sehingga dapat mengendalikan susunan sel. Bila integritas fungsi selaput sitoplasma terganggu misalnya oleh zat bersifat surfaktan sehingga permeabilitas dinding sel berubah atau bahkan menjadi rusak, maka komponen penting seperti protein,  asam nukleat,  nukleotida  dan lain-lain keluar dari sel sehingga sel berangsur-angsur mati.
c)    Penghambat sintesis protein sel bakteri
Umumnya senyawa penghambat ini akan menyebabkan Staphylococcus auerus salah  membaca kode pada mRNA dan tRNA  (hambatan translasi dan transkripsi bahan genetik).  Kloramfonikel, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, dan aminoglikosida juga bersifat menghambat sintesis protein sel bakteri.
d)   Penghambatan sintesis protein sel bakteri
Senyawa antibakteri yang bekerja dengan senyawa ini diharapkan mempunyai selektifitas yang tinggi sehingga hanya sintesis asam nukleat bakteri saja yang dihambat. Umumnya senyawa penghambat akan diberikatan dengan enzim atau salah satu komponen yang berperan dalam tahapan sintesis sehingga akhirnya reaksi akan terhenti karena tidak ada substrat yang direaksikan dan asam nukleat tidak dapat terbentuk.
Antibakteri dapat dibagi dalam dua kelompok berdasarkann  kemampuan zat tersebut untuk membersihkan bakteri dan residu yang dihasilkan yaitu kelompok pertama adalah zat yang dapat bekerja secara cepat untuk membasmi bakteri namun dapat hilang dengan cepat (dengan cara penguapan atau dengan cara penguraian) dan tidak meninggalkan residu aktif (dikenal sebagai zat yang tidak-menghasilkan-residu). Contoh zat-zat seperti ini adalah alkohol, klorin, peroksida, dan aldehid.  Kelompok kedua adalah zat yang memiliki unsur-unsur jenis baru yang meninggalkan residu dalam jangka panjang dipermukaan sehingga dapat membasmi kuman dalam jangka panjang dan tindakan pembasmian kuman dapat dilakukan dalam jangka panjang (dikenal sebagai zat yang menimbulkan-residu). Contoh-contoh umum dari kelompok ini adalah triclosan, triclocarban, dan benzalkonium chloride (Dwidjoseputro, 2005).
Menurur Jawetz (1999) zat antibakteri mempunyai berbagai cara dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Kerusakan pada salah satu struktur penyusun sel bakteri dapat menyebabkan perubahan-perubahan struktur dan kerja bakteri. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri terhambat bahkan mengakibatkan kematian sel. Mekanisme kerja zat antibakteri dimulai pada struktur sel terutama membran sel. Pelczar dan Chan (1988) menambahkan bahwa membran sel merupakan bagian terluar sitoplasma yang terletak dibawah dinding sel, tersusun oleh senyawa protein, lipid dan asam nukleat. Membran ini berperan untuk mengatur keluar masuknya zat seperti air dan garam mineral yang dibutuhkan sel.
2.    Macam-Macam  Zat Anti Bakteri
Menurut (Syamsunir 1992), Antibiotik yang pertama dikenal ialah penisilin suatu zat yang dihasilkan oleh jamur Penicillium. Penisilin ditemukan oleh Fleming pada tahun 1929  namun baru sejak 1943 antibiotik ini banyak digunakan sebagai pembunuh bakteri. Antibakteri yang efektif bagi banyak spesies bakteri baik kokus, basil, maupun spiril, dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebaliknya suatu antibiotik yang hanya efektif untuk spesies tertentu, disebut antibiotik dengan spektrum sempit. Penisilin hanya efektif untuk memberantas terutama jenis kokus sehingga penisilin mempunyai spektrum yang sempit. Tetrasiklin efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu sehingga tetrasiklin mempuyai spektrum luas. Jenis antibakteri lain yaitu amoxilin, ampisilin dan oxacilin serta ekstrak kulit turi juga mengandung zat antibakteri.
C.  BAKTERI Staphylococcus aureus
1.    Pengertian bakteri Staphylococcus aureus
Baketri staphylococcus pertama kali di kenal oleh Pasteur pada tahun 1880 dan Ogstron pada tahun 1881 dari seorang penderita. Selanjutnya, becker pada tahun 1883 berhasil melakukan biakan murni pada tahun 1884 Resonbach untuk pertama kalinya mengetahui adanya kausal antara timbulnya suatu penyakit osteomeilitis dengan bakteri staphylococcus.
Staphylococcus adalah sel berbentuk bulat, gram positif tersusun seperti buah anggur, kuman ini mudah tumbuh pada berbagai media dan metabolismenya aktif, meragikan banyak karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang bervariasi dari warna putih hingga kekuning-kuningan.
Dalam genus Staphylococcus terdiri dari 3 macam spesies yaitu staphylococcus aureus, staphylococcus epidermiclis, staphylococcus saprophyticus, bakteri golongan staphylococcus memiliki bentuk sel bulat dan tersusun bergerombol seperti buah anggur. Bakteri ini sering ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia dan juga menyebabkan infeksi pada binatang, bahkan ada jenis staphylococcus yang menyebabkan keracunan pada makanan.
Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri jenis kokus (bulat) yang hidup bergerombol. Tak seindah namanya, staphyle, dari bahasa Yunani yang berarti anggur. Bakteri ini merupakan mikroba berbahaya yang bisa menyebabkan infeksi pada kulit, atau meracuni makanan sehingga menimbulkan penyakit serius pada manusia.  Staphylococcus aureus biasanya hidup pada jaringan kulit dan lubang hidung manusia. Dalam kondisi sehat dan normal, bakteri ini tidak menginfeksi karena tubuh kita memiliki mekanisme perlindungan seperti kastil yang dijaga prajurit-prajurit bernama antibodi. Infeksi biasanya dipicu oleh luka luar atau penetrasi bakteri melalui makanan yang tercemar. Dalam jumlah terbatas bakteri ini juga terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat, dan saluran usus (Entjang, 2003). 
2.    Klasifikasi Staphylococcus aureus
Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Bergey dalam Capuccino (1993) adalah :
Kingdom    :   MoneraDivisio       :   FirmicutesClass          :    BacilliOrder          :   BacillalesFamily        :   StaphylococcaceaeGenus         :   StaphilococcusSpecies       :   Staphilococcus aureus
3.    Ciri-ciri Staphylococcus aureus
Menurut (Waluyo 2008) bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur. Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya.  Apabila ditumbuhkan pada media agar maka Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning. Warna tersebut dihasilkan oleh pigmen yang melapisi dinding sel, memiliki sifat aerob fakultatif yang artinya membutuhkan oksigen pada saat tertentu, namun dalam kondisi lain mampu bertahan hidup tanpa oksigen sama sekali.
4.    Toksin yang dilepaskan oleh   Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus adalah enterotosin dan eksoenzim dapat menyebabkan keracunan pada makanan terutama yang mempengaruhi saluran pencernaan. Leukosidin menyerang leukosit sehingga daya tahan tubuh akan menurun. Eksofoliatin merupakan toksin yang menyerang kulit dengan tanda-tanda kulit seperti terkena luka bakar (Pratignjo, 1990).
Staphylococcus aureus dapat memproduksi berbagai toksin  antara lain: hemolisin yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah, enterotoksin dapat menyebabkan gejala mual, muntah dan diare dalam 6 jam setelah menelan makanan yang tercemar, eksotoksin yaitu suatu campuran termolabil yang mematikan bagi binatang pada penyuntikan, menyebabkan nekrosis pada kulit dan mengandung hemolisin. Eksotoksin-alfa bersifat sangat beracun sedangkan eksotoksin-beta yang terdiri dari hemosilin yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisis pada sel darah merah. Hialuronidase yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hyaluronat sehingga mempermudah penyebaran bakteri ke seluruh tubuh.
5.    Mekanisme kerja  toksin Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus menginfeksi tubuh manusia terutama tubuh yang sistem imunnya lemah. Infeksi pada kulit atau luka luar biasanya berakibat pada penanahan, misalnya bisul atau luka bernanah lainnya. Area infeksi berwarna merah, bengkak, dan terasa sakit bila disentuh.  Dalam kondisi parah pembengkakan tersebut berkembang menjadi impetigo (pengerasan kulit) atau cellulitis (peradangan pada jaringan dibawah kulit). Infeksi juga bisa terjadi pada ibu menyusui berupa peradangan payudara, bisul dan nanah pada puting yang berpotensi menularkan bakteri kepada bayi (Entjang, 2003).
Staphylococcus aureus dapat mengganggu sistem imun pada tubuh manusia karena mengikat antibodi, menyerang membran sel dan menyebabkan hemolisis serta leukolisis yang mematikan sel tubuh manusia. Bakteri yang masuk ke dalam aliran darah juga bisa bersarang di dalam paru-paru menyebabkan organ tersebut bernanah dan infeksi klep jantung (endocarditis) yang bisa mengakibatkan gagal jantung. Infeksi pada sel tulang berakibat peradangan berat osteomyelitis (Syamsunir, 1992)
Bakteri yang mengontaminasi makanan pada saat tertelan akan menimbulkan gangguan pencernaan dengan gejala mual, muntah, (benar-benar muntah atau tampak seperti muntah tetapi tidak mengeluarkan apa pun), kram perut, lemas, diare, dan dehidrasi. Gejala ini muncul sekitar 1-6 jam sejak menelan makanan. Gejala tersebut berlangsung selama 1-3 hari. Pada kasus yang lebih berat maka gejala tersebut disertai dengan sakit kepala, kram otot, tekanan darah, dan denyut nadi tidak teratur (Iryanto, 2006).
D.  Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik
Resistensi bakteri menurut (Syamsunir, 1992) terhadap antibiotik adalah  kemampuan alamiah bakteri untuk  mempertahankan diri terhadap efek antibiotik. Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga cara yaitu:
a)    Terjadi mutasi pada porin (lubang-lubang kecil) yang terdapat pada dinding luar bakteri. Porin ini merupakan suatu jalur bagi antibiotik untuk masuk dan secara efektif menghentikan pertumbuhan bakteri, akibat mutasi yang terjadi pada porin, antibiotik tidak lagi dapat mencapai tempat kerjanya didalam sel bakteri.
b)   Adanya inaktivasi antibiotik, mekanisme ini mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida dan beta laktam karena bakteri mampu  membuat enzim yang merusak kedua golongan antibakteri tersebut.
c)    Terjadi pengubahan tempat ikatan antibiotik oleh bakteri sehingga antibiotic tidak mampu lagi untuk berikatan dengan bakteri sebagai upaya menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut.
E.  Ekstraksi
1.     Pengertian
Menurut (Katzum, 2004,) ekstraksi merupakan teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya zat terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut tetapi mudah larut dengan pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat ditemukan oleh tekstur kandungan air bahan-bahan yang akan diekstrak dan senyawa-senyawa yang akan diisolasi.
Proses pemisahan senyawa dalam simplisia menggunakan pelarut tertentu   sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut  berdasarkan kaidah ‘like dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut polar. Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode tergantung dari tujuan ekstraksi  jenis pelarut yang digunakan dan senyawa yang diinginkan. Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi.
2.    Tujuan Ekstraksi
Menurut (Harborne, 1996) tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Secara umum terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan ekstraksi yakni:
a)    Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari organisme. Dalam kasus ini prosedur yang telah dipublikasikan dapat diikuti dan dibuat modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan proses atau menyesuaikan dengan kebutuhan pemakai.
b)   Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu misalnya alkaloid, flavanoid atau saponin meskipun struktur kimia sebetulnya dari senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui. Dalam situasi seperti ini metode umum yang dapat digunakan untuk senyawa kimia yang diminati dapat diperoleh dari pustaka. Hal ini diikuti dengan uji kimia atau kromatografi yang sesuai untuk kelompok senyawa kimia tertentu.
c)    Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan tradisional dan biasanya dibuat dengan cara misalnya Tradisional Chinese Medicine (TCM) seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air dan dekok dalam air untuk diberikan sebagai obat. Proses ini harus ditiru sedekat mungkin jika ekstrak akan melalui kajian ilmiah biologi atau kimia lebih lanjut khususnya jika tujuannya untuk memfalidasi penggunaan obat tradisional.
d)   Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya dengan cara apapun. Situasi ini (utamanya dalam program skrining) dapat timbul jika tujuannya adalah untuk menguji organisme, baik yang dipilih secara acak atau didasarkan pada penggunaan tradisional untuk mengetahui adanya senyawa dengan aktivitas biologi khusus.
Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel (Katzum, 2004)
3. Prinsip Maserasi
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama lima hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.
F.   Metode Ekstraksi
1.    Ekstraksi Secara Dingin
Merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari sinar matahari. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin.
2. Ekstraksi secara panas
Merupakan metode yang popular untuk ekstraksi minyak-minyak yang mudah menguap (esensial) dari sampel tanaman. Metode panas dengan menggunakan uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal.
BAB III
METODE PENELITIAN 
A.  Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Jurusan Farmasi POLTEKES Kupang, Dan pengujian resistensi juga sudah dilakukan di Laboratorium PMIPA FKIP Biologi Universitas Nusa Cendana selama  1 bulan yaitu pada bulan Juli 2011.
B.  Alat  Dan Bahan
1.    Alat
a)    Cawan Petri
b)   Botol
c)    Neraca ohaus
d)   Timbangan elektrik
e)    Autoclave  
f)    Pipet tetes
g)   Tabung reaksi
h)   Beakker glass
i)     Gelas ukur
j)     Blender
k)   Kertas saring
l)     Inkubator
m)  Jarum Inokulasi
n)   Pisau
o)   Laminar air flow
p)   Erlenmeyer
q)   Lampu bunsen
r)     Pecandang
s)    Hot plate
t)     Penggaris.
2.    Bahan
a)    Kulit Turi (sesbania grandiflora)
b)   Aceton
c)    Bakteri Staphylococcus Aureus
d)   Media Nutrient Agar (NA)
e)    Media Mueller Hinton Agar (MHA)
f)    Alkohol 70%.
g)   Tetrasiklin
C.  Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menguji resistensi pada konsentrasi 25% dan 50% dengan ulangan sebanyak 6 kali dan kontrol positif (+) dan kontrol negatif (-).
D.  Prosedur Kerja
1.    Pengeringan Sampel Kulit Turi (Sesbania gradiflora)
Kulit Turi (Sesbania grandiflora) yang dipakai sebagai sampel, diambil  dan kupas kulit luarnya, dipotong-potong tipis, kemudian dicuci dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan diudara terbuka tanpa terkena sinar matahari langsung. Setelah kering, dirajang dan selanjutnya diblender sampai terbentuk serbuk halus, kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 40-60 mesh. Hasil ayakan disimpan di dalam botol dan ditutup rapat.
2.    Ekstraksi Kulit Turi (Sesbania grandiflora)
Sebanyak 100 gram serbuk turi ditimbang dan dimaserasi memakai pelarut aceton sebanyak 375 ml. Sampel didiamkan selama 5 hari  sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari, disaring dan didestilasi dengan vakum evaporator dengan suhu 49%, ekstrak turi yang peroleh dikumpulkan untuk pengujian selanjutnya.
3.    Pembuatan Medium Nutrient Agar (NA) Miring
Media NA dibuat dengan cara menimbang 8 gram agar-agar dan 0,5 gram NaCl, kemudian  dimasukan ke dalam beakker glass yang sudah berisi 150 ml air dan 350 ml kaldu sapi, selanjutnya larutan media dipanaskan dengan hot plate sampai larutan homogen, kemudian larutan dituang secara aseptis kedalam erlenmeyer, dibungkus dengan aluminium foil kemudian disterilkan menggunakan autoklave selama 35 menit pada suhu 121°C. Setelah steril dituang dalam tabung reaksi masing-masing 5 ml, kemudian ditutup dengan menggunakan kapas, selanjutnya dimasukan ke dalam kulkas, tabung reaksi selanjutnya dimiringkan pada posisi 40-450, dengan tujuan agar media didalamnya membeku berbentuk miring.
4.    Peremajaan Bakteri Uji Pada Agar  Miring
Sebanyak 1 ose biakan murni bakteri uji  Staphylococcus  Aureus dimasukan dalam media Nutrient Agar  (NA) miring ditutup lalu  diinkubasikan  pada suhu 37°C selama 24 jam (Entjang, 2003)
5.    Pembuatan Medium Mueller Hinton Agar (MHA)
Media MHA dibuat dengan cara menimbang 20 gram agar-agar kemudian masukan ke dalam beakker glass yang berisi  150 ml air, selanjutnya larutan media dipanaskan dengan hot plate hingga larutan homogen, kemudian masukan 0,2 gram laktosa sambil diaduk-aduk hingga mengental. Setelah itu angkat dan tuang ke dalam erlenmeyar kemudian ditutup dengan aluminium foil dan dibungkus kemudian disterililkan menggunakan autoklaf selama 35 menit pada 121°C. Media yang sudah steril kemudian secara aseptik  dituang kedalam cawan petri masing-masing10 ml sebagai lapisan dasar.
6.    Pembuatan Larutan Pembanding
Tetrasiklin ditimbang sebanyak 0,3 gram dan dilarutkan dalam aquades hingga volumenya mencapai 10 ml. 
7.    Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Kulit turi ( Sesbania grandiflora)
Ekstrak kental kulit turi, dibuat 2 seri konsentrasi 25% dan 50% misalnya untuk konsentrasi  50% dibuat dengan cara pipet 0,5 ml ekstrak kemudian disuspensikan dengan aquades steril hingga volumenya mencapai 10 ml.
8.    Prosedur Uji Dengan Difusi Agar.
Sebanyak 4 ml medium MHA dicampur dengan 1 ml suspensi Staphylococcus aureus, digoyang-goyang dengan tujuan untuk menghomogenkan larutan dalam medium. Tuang campuran dalam medium diatas lapisan dasar MHA. Selanjutnya letakan pecandang di atas lapisan dasar dan dibiarkan hingga medium memadat. Setiap pecandang dimasukan masing-masing 0,2 ml larutan uji, kontrol positif dan kontrol negatif dalam medium steril. Untuk satu cawan petri terdiri dari 4 pecandang, yang terbagi menjadi 1 pecandang ekstrak turi 25%, 1 pecandang ekstrak turi 50% , 1 pecandang kontrol positif berisi tetrasiklin, dan 1 pecandang lagi control negatif berisi aquades. Selanjutnya tumbuhkan dalam incubator pada suhu 370C selama 24-48 jam setelah masa inkubasi, ukur diameter zona hambat dengan penggaris.
E.Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah resistensi dalam bentuk diameter zona hambat.
F.   Analisis  Data
Data yang diperoleh kemudian dihitung nilai rata-ratanya dan dideskripsikan berdasarkan standar resistensi. Standar nilai resistensi (Cappucino dan Sherman, 1983) dalam (Tokan, 2006) adalah sebagai berikut :
1)   Bila diameter zona hambat < 14 mm maka resistensi.
2)   Bila diameter zona hambat antara15-18 mm maka resistensi sedang
3)   Bila diameter zona hambat > 19 mm maka sensitif 
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 
A.  Hasil
1.    Ekstrak Senyawa Antibakteri Kulit Turi (Sesbania grandiflora)
Dari penelitian yang dilakukan dapat diperoleh hasil ekstraksi 100 gram serbuk Turi yang dimaserasi dengan 375 ml pelarut aceton dapat menghasilkan stok berupa ekstrak kental berwarna cokelat dengan berat 4,16 gram. Aceton dipakai sebagai pelarut karena senyawa ini mampu menarik senyawa-senyawa non polar yang terdapat dalam serbuk turi karena  prinsipnya pelarut non polar akan melarutkan senyawa yang non polar.
2.    Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Ekstrak Non Polar Kulit Turi (Sesbania grandiflora) Terhadap bakteri uji
Tabel 1. Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Ekstrak Non Polar Kulit Turi dapat dilihat pada tabel berikut:
 Konsentrasi/Perlakuan
(%)
Ulangan
Rata-rata (mm)
1
2
3
4
5
6
25
15
16
17
18
14
15
15
50
17
18
18
19
18
18
18
K+
20
20
20
20
20
20
20
K-
-
-
-
-
-
-
-
Ket : K+ (Kontrol positif) = Tetrasiklin
          K-(Kontrol negatif) = aquades

Table 1. diatas menunjukan bahwa setiap konsentrasi ekstrak memperlihatkan diameter zona hambat bervariasi, pada konsentrasi 25% menghasilkan zona hambat lebih kecil dengan diameter zona hambat berkisar antara 14-18 mm dengan rata-rata 15 mm. Pada konsentrasi 50% menghasilkan diameter zona hambat lebih besar yaitu berkisar antara 17-19 mm dengan rata-rata 18 mm. Pada kontrol positif (Tetrasiklin) menghasilkan diameter zona hambat lebih besar yaitu 20 mm dengan rata-rata 20 mm dan kontrol negatif (aquades steril) tidak menghasilkan diameter zona hambat.
Dari table 1 diatas terlihat bahwa konsentrasi ekstrak 50% menghasilkan rata-rata diameter zona hambat lebih besar dari pada konsentrasi ekstrak 25%, dan diameter zona hambat dari kontrol positif (tetrasiklin) lebih besar dari pada kedua level konsentrasi ekstrak. Hal ini menunjukan bahwa  kontrol positif (Tetrasiklin) berpengaruh terhadap bakteri Staphylococcus aureus sehingga aktifitas penghambatannya tergolong dalam kategori kuat. Pemberian konsentrasi yang berbeda-beda menunujukkan pengaruh yang berbeda juga terhadap diameter zona hambat yang dihasilkan. Semakin luas daerah zona hambat yang terbentuk disekitar pecandang  maka semakin besar pula daya antibakteri yang terdapat pada ekstrak. Hal Ini ditunjukkan dengan adanya diameter zona hambat atau daerah transparan di sekitar pecandang. Ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) diketahui mengandung zat antibakteri sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Zat yang terkandung dalam ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) bersifat bakteriostatik (menghambat bakteri). Hal ini diketahui dari perlakuan ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora.) dengan 2 seri konsentrasi yaitu 25% dan 50% berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, dan aktifitas penghambatan tergolong resistensi sedang.
3.    Resistensi Bakteri Dapat Diketahui Berdasarkan Ukuran Diameter Zona Hambat.
Tabel 2. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap Ekstrak Non Polar Kulit Turi dapat dilihat pada tabel berikut:
No
Konsentrasi (%)
Rata rata (mm)
Standar nilai resistensi
Ket
1
25
15
<14 (resistensi)
Resistensi sedang

2
50
18
15-18
(resistensi sedang)
Resistensi sedang

3
Kt+
20
> 19 (sensitif)
Sensitif

4
K-
-
-
-

Ket : K+ (Kontrol positif)= Tetrasiklin
         K-(Kontrol negatif)= aquades
Dari tabel diatas menunjukan bahwa setiap konsentrasi ekstrak memperlihatkan diameter zona hambat bervariasi. Pada konsentrasi 25% menghasilkan diameter zona hambat dengan rata-rata 15 mm, dan aktifitas penghambatan tergolong kategori resistensi sedang. Pada konsentrasi 50% menghasilkan diameter zona hambat zona hambat dengan rata-rata 18 mm, aktifitas penghambatan masih tergolong resistensi sedang. Sedangkan pada kontrol positif (Tetrasiklin) menghasilkan diameter zona hambat dengan rata-rata 20 mm. Kontrol positif digunakan untuk membandingkan apakah ekstrak non polar kulit turi yang digunakan sebagai larutan uji sebanding atau lebih kecil dari zona hambat antibiotik Tetrasiklin. Namun pada penelitian ini, hasil pengukuran diameter zona hambat yang lebih besar adalah pada kontrol positif (Tetrasiklin) dengan rata-rata diameter zona hambat adalah 20 mm dan aktifitas penghambatan tergolong sensitif. Kontrol negatif (aquades) tidak menunjukan adanya diameter zona hambat. Penentuan kriteria ini berdasarkan nilai standar resistensi (Cappocino dan Sherman, 1983).
B.  Pembahasan
1.     Senyawa antibakteri Ekstrak Non Polar Kulit Turi (Sesbania grandiflora)
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa ekstrak non polar kulit Turi (Sesbania grandiflora) mampu menghambat resistensi staphylococcus aureus pada konsentrasi 25% dan 50%. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwoko (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak non polar yang diberikan maka semakin besar diameter zona hambat yang dihasilkan.
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa  senyawa antibakteri kulit turi yang dimaserasi dengan menggunakan pelarut aceton telah terbukti menghambat resistensi bakteri Staphylococcus aureus. Senyawa non polar kulit turi bekerja efektif sehingga mampu menghambat bakteri Staphylococcus aureus karena didalam serbuk turi  terdapat salah satu senyawa antibakteri yang disebut tannin. (Menurut Hutapea, 2000) menyatakan bahwa senyawa tannin merupakan fitokimia yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri dan mempunyai kemapuan untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh mikroba-mikroba berhahaya. Tanin dan derivatnya dapat berfungsi sebagai antibakteri karena mendenaturasi protein dan merusak membrane sel bakteri Staphylococcus aureus.
Berdasarkan penelitian ini, dapat dilihat bahwa bakteri Staphylococcus aureus yang diperoleh, telah diuji resistensinya terhadap ekstrak non polar kulit turi (Sesbaniagrandiflora) maka ekstrak kulit turi (Sesbaniagrandiflora) terbukti memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus berupa resistensi dalam bentuk diameter zona hambat. Hal ini didukung oleh Sadikin (2002) menyatakan bahwa bakteri ini pada lingkungan alaminya menunjukan resistensi terhadap beberapa antibiotik. 
2.    Resistensi Bakteri (Staphylococcus aureus) Terhadap Ekstrak Non Polar Kulit Turi (Sesbania grandiflora)
Berdasarkan hasil pengujian ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) terhadap  bakteri  Staphylococcus aureus, terbukti menghambat resistensi Staphylococcus aureus namun aktifitas penghambatan tergolong kategori resistensi sedang. sehingga mengindikasikan bahwa senyawa antibakteri tannin efektif  menghambat kerja bakteri Staphylococcus aureus. Menurut Sadikin  (2002) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang resisten terhadap antibakteri dan dapat hidup dilingkungan yang berkonsentrasi tinggi.
Kemampuan Staphylococcus aureus  dalam mempertahankan diri dari ekstrak non polar yang diberikan menunjukan bahwa mikroba ini mempunyai struktur yang terdiri dari lapisan-lapisan pembungkus yang terletak antara selaput sitoplasmik dan simpai secara kolektif disebut dinding sel. Fungsi utama dinding sel adalah menyediakan komponen struktural kaku dan kuat yang dapat menahan tekanan osmosis yang tinggi dari dalam sel. Semua dinding sel bakteri mempunyai komponen struktural yang sama yang dinamakan mukopolisakarida dinding sel, peptidoglikan, asam teikhoat dan lipid. Peptidoglikan merupakan polimer kompleks yang terdiri dari rangkaian asam N-asetilglukosamin yang disusun secara berganti-gantian dengan ikatan pirofosfat, tempat melekat sejumlah asam-asam lemak berantai panjang (Jawetz dkk., 2001).
Resistensi Staphylococcus aureus terhadap ekstrak non polar kulit turi (Sesbaniagrandiflora) yang diberikankan dapat terjadi melalui mutasi kromosomnya atau pertukaran materi genetik diantara senyawa antibakteri. Telah diketahui juga bahwa Staphylococcus aureus yang resisten ribosomnya berbeda, dibandingkan dengan bakteri yang sensitif terhadap konsentrasi ekstrak yang diberikan. Hal ini didukung oleh (Pelczar dan Chan,1986) yang menyatakan bahwa bakteri gram positif (Staphylococcus aureus) mempunyai kecenderungan lebih resisten terhadap zat antibakteri.
Resistensi Staphylococcus aureus terhadap ekstrak kulit turi diduga berasal dari sel bakteri yang terlibat dalam metabolisme normal, sebagai akibat pemakaian ekstrak, hal ini terjadi karena tekanan selektif yang memungkinkan terjadinya mutasi gen bakteri. Mutasi bakteri Staphylococcus aureus diekspresikan dalam bentuk enzim penghancur sehingga dapat menghancurkan senyawa antibakteri yang masuk ke dalam sel bakteri (Sadikin, 2002).
Bakteri yang menghasilkan enzim ini, resisten terhadap ekstrak antibakteri kulit turi (Sesbaniagrandiflora). Enzim ini bekerja dengan cara merusak senyawa antibakteri yang masuk kedalam sel bakteri. Sehingga keberadaan enzim sangat penting untuk mempertahankan kehidupan Staphylococcus aureus dari senyawa antibakteri yang akan masuk kedalam sel bakteri. Menurut Sadikin (2002) bahwa dengan adanya temuan enzim-enzim penghancur anti biotika yaitu enzim koagulasi, yaitu suatu protein yang dapat menggumpalkan plasma oxalate atau citrate. koagulasi dapat menggumpalkan fibrin pada permukaan Staphylococcus aureus sehingga dapat menyebabkan kuman penyakit.
3.    Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Non Polar Kulit Turi (Sesbania grandiflora) Terhadap Diameter Zona Hambat Yang Dihasilkan.
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat diketahui bahwa pada level konsentrasi yaitu 25% dan 50% mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus namun tergolong resistensi sedang. Menurut Purwoko (2007) bahwa konsentrasi efektif merupakan konsentrasi terkecil yang mempunyai daya hambat besar. Maka dengan adanya daya hambat yang besar merupakan petunjuk kepekaan mikroorganisme terhadap antibakteri.
Menurut Volk dan Wehler (1988) bahwa ekstrak non polar  kulit turi sebagai bahan antimikroba akan lebih baik di bawah konsentrasi 100%. Ekstrak non polar kulit turi akan lebih lebih besar daya hambatnya apabila digunakan pada konsentrasi 70% karena pada konsentrasi tersebut ekstrak non polar kulit turi (Sesbaniagrandiflora) dapat mendenaturasikan protein sel dan merusak dinding sel. Sedangkan bagi pertumbuhan bakteri konsentrasi di atas 70% akan membunuh bakteri. Kenyataan ini dimungkinkan bahwa bahan antibakteri ekstrak non polar kulit turi (Sesbaniagrandiflora) mempunyai mekanisme yang sangat baik dalam menghambat resisrensi Staphylococcus aureus. Kemungkinan lain adalah semakin pekatnya bahan antimikroba maka semakin berpengaruh pada proses difusi mikroorganime tersebut serta kelemahan dari metode pecandang yaitu pada konsentrasi tinggi bahan antimikroba akan memperkecil daya serap bahan antimikroba pada medium yang ditumbuhi bakteri, akibatnya pengaruh bahan antimikroba kurang meluas sehingga dihasilkan zona hambat kecil.
Sesuai hasil penelitian yang didapat yaitu senyawa metabolit sekunder ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) yang mengandung senyawa antibakteri tannin, efektif menghambat daya kerja bakteri Staphylococcus aureus.  Proses ekstraksi senyawa antibakteri juga berpengaruh terhadap aktivitas bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini menyebabkan aktivitas antibakteri senyawa tanin yang terkandung di dalam ekstrak bekerja maksimal  (Kusmayati dan Agustini, 2007).
Ekstrak  non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) bekerja stabil dalam penghambatan, ditunjukkan dengan konsentrasi yang semakin besar memberikan efek penghambatan yang lebih besar. Kemungkinan ini disebabkan karena ekstrak yang digunakan merupakan ekstrak kasar yang kelarutan senyawa antibakterinya maksimal, sehingga aktivitas penghambatan maksimal pula (Kusmayati dan Agustini, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan juga disimpulkan bahwa kulit turi (Sesbania grandiflora) yang diekstrak dengan pelarut aceton mampu menghambat resistensi Staphylococcus aureus  karena senyawa antibakteri  dan aktivitas antibakteri yang dihasilkan lebih besar, dengan rata zona hambat 21 mm tergolong sensitif  yaitu pada konsentrasi 100%.
Menurut Jayaraman dkk (2008) bahwa konsentrasi ekstrak non polar kulit turi  yang efektif menghambat bakteri mulai bekerja pada konsentrasi 70%-100%. Serbuk turi (Sesbania grandiflora) yang diekstrak dengan pelarut non polar (aceton) menunjukkan efek penghambatan terhadap bakteri S.aureus  tergolong kategori resistensi sedang.
Menurut Purwoko (2007) bahwa Seharusnya, semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan, maka semakin besar aktivitas penghambatannya. Namun, dalam penelitian ini tidak menunjukkan hal tersebut, karena level konsentrasi yang digunakan dalam penelian ini hanya pada 25% dan 50%.
Purwoko (2007) menyatakan bahwa pada umumnya diameter zona hambat cenderung meningkat sebanding dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Dalam penelitian ini terdapat  penurunan luas zona hambat pada konsentrasi yang lebih besar yaitu  50%. Hal ini terjadi karena  Staphylococcus aureus mempunyai stuktur peptidoglikan yang mampu menahan substansi toksik yang akan masuk untuk mengganggu metabolism sel bakteri.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Elifah (2010) bahwa dimana diameter zona hambat tidak selalu naik sebanding dengan naiknya konsentrasi antibakteri, kemungkinan ini terjadi karena perbedaan kecepatan difusi senyawa antibakteri pada media agar serta jenis dan konsentrasi senyawa antibakteri yang berbeda juga memberikan diameter zona hambat yang berbeda pula. Jawetz (1996) menyatakan bahwa wilaya jerni disekitar zat antimikroba merupakan kekuatan hambatan zat antimikroba terhadap pertumbuhan mikroorganisme.
4.    Konsentrasi Efektif Ekstrak Non Polar Kulit Turi (Sesbania grandiflora).
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan maka rata-rata diameter zona hambat dapat diketahui bahwa ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) pada konsentrasi 25% dan 50% mampu menghambat resistensi bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini menunjukan bahwa senyawa antibakteri ekstrak non polar kulit turi mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Kusmayati dan Agustini (2007) menyatakan bahwa konsentrasi efektif yang mampu menghambat bahkan membunuh bakteri Staphylococcus aureus yaitu pada berkisar antara 75%-100%.
Pada penelitian ini, digunakan  2 level konsentrasi yaitu 25% dan 50% dengan tujuan untuk mencari tahu resistensi bakteri Staphylococcus aureus, dan telah terbukti bahwa ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) mampu menghambat resistensi bakteri Staphylococcus aureus walaupun aktivitas penghambatan tergolong resistensi sedang hal ini dibuktikan berdasarkan diameter zona hambat yang dihasilkan.
5.    Mekanisme Resistensi Staphylococcus aureus Terhadap Ekstrak Kulit Turi (Sesbania grandiflora)
Menurut Sadikin (2002) bahwa resistensi bakteri Staphylococcus aureus terhadap Zat antibakteri yang diberikan dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
a.    Inaktifasi antibakteri oleh enzim yang dihasilkan bakteri Staphylococcus aureus
b.    Berkurangnya permaebilitas bakteri terhadap obat
c.    Meningkatnya sintesa senyawa yang antagonistic terhadap obat.
Pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa terjadi resistensi bakteri Staphylocuccus aureus karena perubahan reseptor ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri Staphylocuccus aureus sehingga dapat menyebabkan penurunan kapasitas ekstrak antibakteri. Pelczar dan Chan (1988) membenarkan bahwa penurunan struktur dinding sel bakteri dapat terjadi karena senyawa antibiotik yang masuk kedalam sel bakteri mampu menghambat pertahanan sel mekanisme ini merupakan mekanisme yang terjadi pada larutan pembanding (tetrasiklin).
Resistensi bakteri Staphylococcus aureus dapat terjadi melalui mekanisme intrinsik (kegagalan senyawa antibakteri yang masuk kedalam sel), perubahan permaebilitas membran sel, perubahan pada ribosom maupun pembentukan enzim yang dapat menginaktifkan ekstrak antibakteri yang telah diberikan. Kemampuan bakteri Staphylococcus aureus untuk mempertahankan diri dari ekstrak yang diberikan dapat terjadi melalui replikon yang satu ke replikon yang lain dengan struktur yang luas sehingga terjadi penyebaran resistensi menjadi lebih cepat (Sadikin, 2002).
Terjadinya resistensi bakteri yang tadinya peka terhadap antibiotik dapat terjadi melalui mutasi pada kromosom atau pertukaran materi genetik diantara mikroba, dengan demikian pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bakteri Staphylococcus aureus mampu bertahan hidup dan dapat melawan senyawa antibakteri ekstrak non polar yang diberikan.
Menurur Jawetz (1999) bahwa zat antibakteri mempunyai berbagai cara dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Kerusakan pada salah satu struktur penyusun sel bakteri dapat menyebabkan perubahan-perubahan struktur dan kerja bakteri. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri terhambat bahkan mengakibatkan kematian sel. Mekanisme kerja zat antibakteri dimulai pada struktur sel terutama membran sel. Pelczar dan Chan (1988) menambahkan bahwa membran sel merupakan bagian terluar sitoplasma yang terletak dibawah dinding sel, tersusun oleh senyawa protein, lipid dan asam nukleat. Membran ini berperan untuk mengatur keluar masuknya zat seperti air dan garam mineral yang dibutuhkan sel.
Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa bakteri Staphylococcus aureus cenderung lebih resisten terhadap ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora), dengan diameter zona hambat berkisar antara 17-19 mm yaitu pada konsentrasi 50%, Sedangkan pada larutan pembanding Tetrasiklin Staphylococcus aureus cenderung lebih sensitif, dengan diameter zona hambat 20 mm, ini menunjukan bahwa bakteri Staphylococcus aureus termasuk peka terhadap zat antibiotik. Hal ini sejalan dengan pendapat Capucino dan Sherman (1983) menyatakan bahwa  diameter hambat antara 20-30 mm menunjukkan bahwa bakteri tersebut peka terhadap suatu zat uji. 
BAB IV
PENUTUP 
A.  Kesimpulan
Staphylococcus aureus  resistensi sedang terhadap senyawa antibakteri ekstrak non polar kulit turi (Sesbania grandiflora) pada konsentrasi 25% dan 50%.
B.  Saran
1.    Kepada peneliti lanjutan untuk mekakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme penghambatan senyawa antibakteri ekstrak kulit Turi (Sesbania grandiflora) terhadap bakteri uji secara pasti.
2.    Kepada peneliti lanjutan agar dapat mengembangkan permasalahan yang telah dilakukan dalam penelitian ini guna mendapatkan zat antimikroba alami yang dapat dipakai sebagai obat.
3.    Kepada peneliti lanjutan agar dalam melakukan penelitian diharapkan agar mengunakan konsentrasi ekstrak non polar kulit yang lebih efektif sehingga dapat membunuh bakteri Bakteri Staphylococcus aureus.
  
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, A. S. 2009. Tumbuhan obat Indonesia. ITB. Bandung.

Cappocino dan Sherman. 1983. Microbologi a laboratory manual.

Dwidjoseputro. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Percetakan Imagraph. Jakarta .

Elifah,  2010. Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Daun Senggani            (Melastoma candidum, D.Don) Terhadap Escherichia coli dan

Bacillussubtilis Serta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. Skripsi. FMIPA UNS, Surakarta.

Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan parasitologi Keperawatan. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Iryanto, K. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 2. Yrama Widia. Bandung.

Harborne. 1996. Metode Fitokimia  Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung.

Hutapea. 2000. Tanaman Obat Indonesia. http://www.tanaman-obat.com/ di akses pada tanggal 10 Februari 2010

Jawetz et all., 1996. S.aureus http://www.cfsan.fda.gov/ di akses pada tanggal 24 Desember 2004.

Jawetz. E., J. Melnick, L. Adelberg, E.A. 1986. Microbiologi Untuk Profesi

Katzum, B. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Madika. Jakarta.
Terjemahan Huriati dan Hartanto. Penerbit Buku Kedokteran
              EGC. Jakarta.

Kusmayati dan Agustini, N. W. R. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari Mikroalga (Porphyridium cruentum). Biodiversitas.

Lingga, M. E. 2005. Isolasi dan Identifikasi Bakteri pada Udang Laut yang Biasa Dikonsumsi Masyarakat Pananjung Pangandaran. Laporan. Universitas Padjadjaran.

Mycek, M. J., Richard, A. H., dan Pamela, C. 1997. Farmakologi  Ulasan Bergambar. Terjemahan Azwar Agoes dan Huriawati Hartanto. Penerbit  Widya Medika. Jakarta.
Pelczar, M. J. dan Chan, E.C.S. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta.

Prapti, U. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Agromedia. Jakarta.

Pratignjo, S. J. 1990. Usaha Memerangi Penyakit. CV Karya Indah. Jakarta.

Raina. 2011. Ensiklopedia Tanaman Obat Untuk Kesehatan. Absolut. Jakarta.

Sadikin, M. 2002. Biokimia Enzim. Penerbit Wijaya Medika. Jakarta.

Sukarsono. dkk., 2003. Tumbuhan untuk Pengobatan. Penerbit Universitas Muhamadiya Malang.

Suryowinoto, S. M. 1997. Flora Eksotika, Tanaman Peneduh. Penerbit Kanisius.Yogyakarta.

Syamsunir, A. 1992. Dasar-Dasar Mikrobiologi Dan Parasitologi Untuk Perawat.   Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Todar, K. 2008. Bacillus cereus Keracunan Makanan. www.texbook of bacteriology. di akses pada tanggal 22 0ktober 2009.

Tokan, M. K. 2006. Bahan Ajar Mikrobiologi. Kupang.

Waha, M. G. 2000. Sehat dengan Mengkudu. Jakarta.

Waluyo, L. 2008. Teknik dan Metode dasar dalam Mikrobiologi. UPT Universitas Muhammadiyah, Malang.













3 komentar:

  1. Kalau medianya pakai na atau pca bisa nggak
    Terimakasih

    BalasHapus
  2. Kalau medianya pakai na atau pca bisa nggak
    Terimakasih

    BalasHapus